Manusia dan lingkungan adalah serupa dua
sisi mata uang. Ia bernilai jika keduanya saling menunjang. Manusia tak akan
berkembang jika tak ada lingkungan. Sedangkan lingkungan tak akan bisa meretas
zaman tanpa sentuhan manusia. Seperti kata Paul Sears, manusia mampu
mengekspresikan dirinya jika terjadi fungsi social dari sebuah ekologi
(hubungan timbal balik antara mahkluk dan lingkungannya) Namun Manusia kadang
lupa tentang hubungan mutualism tersebut.
Alam seringkali dianggap sebagai bagian
yang bisa dieksploitasi demi kepentingan manusia untuk bertahan hidup. Lihat
saja, Jadilah kemudian, penjarahan hutan, pembumi hangusan hutan, pengerukan pasir, dan penimbunan sampah,
sebagai fenomana biasa. Demi kepentingan-kepentingan kapital tentunya. Di bawah
payung tekhnologi kapitalisme bergerak sangat maju sekali dan semakin sangat
merusak lingkungan. Gedung-gedung, pabrik-pabrik, pembangkit listrik, villa,
plasa dibangun dengan membakar hutan, menggerus lahan dan memaksa masyarakat
hanya menjadi mesin-mesin produksi. Akibatnya Unsure-unsure biotick pedesaan
menjadi semakin terkuras ! Tanaman obat dari alam digantikan dengan jamu buatan
pabrik yang tak sama sekali jelas manfaatnya, Sebab semakin sulit kita
menemukan hutan-hutan yang rimbun. Tanah lapangan yang sangat teramat luas.
Atau udara yang sejuk. Padahal tanpa mereka sadari eksploitasm semacam itu
seringkali menjadi bencana. Lihat saja, bagaimana negri ini selalu menjadi
langganan bencana-bencana . Mulai dari longsor;banjir bandang; hingga luapan
lumpur. Dan berjuta-juta orang menjadi korban. Terpuruk dalam luka yang tidak
ada sama sekali habisnya.
Sebenarnya, sudah banyak warnning yang
diserukan mengenai upaya-upaya melestarikan lingkungan. Namun peringatan
semacam ini masih dianggap sebagai sebuah tontonan . Bahkan dianggap
menyebalkan. Contoh sederhana saja/ Misalnya larangan membuang sampah di
sembarang tempat. Meski larangan tersebut sudah dipasang dengan huruf besar,
toh masih banyak saja manusia yang tak mau tau. Mereka baru saja sadar ketika
banjir melanda daerahnya. Kemudian berbondong-bondong mulai membersih-bersihkan
lingkungannya. Namun nasi telah jadi bubur. Sebab korban telah berjatuhan. Baik
secara pssicologi maupun materiil. Ya. Begitulah Indonesia. Lebih baik
terlambat daripada tidak sama sekali. Memang ada benarnya sikap semacam hal itu.
Tetapi lebih banyak salahnya. Meski begitu, bukan tidak ada cara untuk
mengembalikan lingkungan kita menjadi asri kembali. Satu-satunya cara adalah
gerakan partisipatorism. Yang harus melibatkan seluruh masyarakat. Pembangunan
kota boleh jalan terus. Namun .perlu diimbangi dengan regenerasi lingkungan.
Untuk memulaikan tentunya dengan tindakan yang sederhana. Misalnya, berupa
kesediaan warga masyarakat mungut sampah di sekitarnya. Serta nanam pohon atau
yang lebih dikenal dengan satu jiwa satu pohon. Ini untuk mengurangi udara kota
yang dipenuhi polusi. Serta mempertahankan ekosistema yang ada. Bukan untuk
siapa-siapa. Tapi untuk anak cucu-cucu kita di masa depan. Sudahkah anda
melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar